PENYELESAIAN SENGKETA
Pola hubunganyang didasarkan pada keinginan untuk menegakkan system syariah tersebut diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara pelaku-pelaku pasar modal. Kalau pun terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikannya secara musyawarah menurut agama islam.
Meskipun demikian, tetap saja ada kemungkinan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Terjadinya keadaan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari, apalagi dalam kehidupan dunia ekonomi haruslah diantisipasi dengan cermat.
4.1 Badan Arbitrase Syariah
Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, masyarakat pengguna jasa syariah menyadari bahwa instansi peradilan yang ada tidak dapat dinadalkan . terlebih bahwa peradilan yang sekarang ada memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan pihak–pihak terkai dalam akad syariah.
Dengan demikian, diperlukan lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadi sengketa antara pelaku pasar modal. Lembaga permanen tersebut adalah Badan Arbitrase Syariah. Badan Arbitrasi Syariah merupakan tempat penyelesaian sengketa jika tidak tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa.
4.2 Pengadilan Agama
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang amandemen atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, memperluas kewenangan Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam, yang sebelumnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq dan sadaqah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 pasal 49, huruf i, kewenangan Pengadilan Agama diperluas, termasuk bidang Ekonomi Syari’ah. Dengan kewenangan dan peneguhan kewenangan Pengadilan Agama dimaksudkan memberikan dasar hokum bagi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkaraEkonomi Syari’ah..yakni menyangkut semua kegitan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip syariah. meliputi:
a. Bank Syari’ah
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah,
c. Asuransi Syari’ah
d. Reasuransi Syari’ah
e. Reksa Dana Syari’ah
f. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah
g. Sekuritas Syari’ah,
h. Pembiayaan Syari’ah,
i. Pegadaian Syari’ah,
j. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah, dan
j. Bisnis Syari’ah.
Dalam hal terjadi sengketa keperdataan termasuk hak milik antara orang beragama Islam dan non Islam mengenai obyek sengketa sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka cara penyelesaiannya diatur dalam Pasal 50 yang isinya sebagai berikut:
a) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pegadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
b) Apabila terjadi sengketa hak milik yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-bersama.
Dalam kasus sengketa utang piutang melalui bank atau sejenisnya (Lembaga keuangan Syari’ah), menurut fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia Nomor:19/DSN-MUI/IX/2000 bahwa jika debitor/nasabah tidak dapat membayar sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat jatuh tempo, sedangkan bank telah memastikan ketidakmampuannya, maka bank dapat melakukan:
a). Memperpanjang jangka waktu pembayaran
b). Menghapus(write off ) sebagian atau seluruh hutangnya.
Selain itu, Bank dapat mempailitkan debitor ke Pengadilan Agama. Dengan cara mengacu pada penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, dengan menghubungkanpada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004, maka pihak yang dapat mengajukan perkara kepailitan ke Pengadilan Agama Syari’ah bidang Ekonomi Syari’ah adalah: Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitor adalah Reksadana Syari’ah, Obligasi Syari’ah, Surat Berharga Berjangka Syari’ah dan Sekuritas Syari’ah.
Dengan mengacu pada rujukan di atas, maka Pengadilan Agama selain berwenang memeriksa, memutus perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sekaligus memutus perkara derivatif kepailitan seperti perkara:
a). actio paulina,
b).Perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan,
c). Perkara yang berkaitan dengan pailit yang salah satu pihaknya adalah debitor, kreditor, kurator, atau pengurus, termasuk gugatan kurator atau pengurus terhadap direksi yang menyebabkan badan hukum tersebut dinyatakan pailit disebabkan oleh kelalaian atau kesalahannya.
KESIMPULAN
Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba maka itu diumumkan alternative yang dinamakan obligasi syariah. Dalam islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah shukûk yang artinya menurut perbankan syariah merupakan surat berharga yang diterbitkan sesuai prinsip syariah.
Merunjuk kepada fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 32/ DSN-MUI/IX/2002 “obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil atau margin/ fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”
Dasar hukum yang menjadi landasan pelaksanaan obligasi syariah sebagai alternatif dalam mengatasi riba (bunga) dalam obligasi adalah:
- Firman Allah Swt
- Sabda Nabi Muhammad Saw
- Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majlis Ulama Indonesia.
Dalam operasionalnya obligasi syariah harus memperhatikan sisi halal atau haramnya. Artinya, disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi syariah harus sesuai dengan prinsip syariah.Berdasarkan fatwa MUI, terdapat tiga kategori tiga jenis pembagian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syariah antara lain:
1) bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah,
2) keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna,
3) berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah.
1) bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah,
2) keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna,
3) berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah.
Terdapat beberapa macam jenis obligasi syariah diantarnya:
a) Obligasi Mudharabah yaitu obligasi syariah yang memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah di ketahui dengan jelas. Emiten bertindak selaku mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal yang memperoleh keuntungan dari bagian proporsional keuntungan pengelolaan dana oleh investor. Berdasarkan keputusan hakim transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.
b) Obligasi Ijarah merupakan obligasi syariah yang memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku. Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at maturity par value) di pasar perdana.
Dalam penyelesaian perselisihan jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba maka itu diumumkan alternative yang dinamakan obligasi syariah. pojokinvestasi.com
BalasHapus