Laman

Sabtu, 17 Desember 2011

Obligasi Syariah (Shukuk)-Part 2

OPERASIONAL

Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.

Investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa pun, sesuai falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di situ!

3.1  Syarat- Syarat Menerbitkan Obligasi

Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.
Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:



(1)     Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:
·      usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
· usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
·   usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram;
·      usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
(2)     Peringkat Investment Grade:
o Memiliki fundamental usaha yang kuat;
o Memiliki fundamental keuangan yang kuat;
o Memiliki citra yang baik bagi publik
(3)     Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII)

3.2  Jenis-Jenis Pembagian Keuntungan Kepada Investor Pemegang Obligasi Syariah

Berbeda dengan obligasi konvensional, obligasi syariah dalam prekteknya prinsip-prinsip syariah menjadi lanadasan yang harus dipatuhi. Dengan demikian, dalam operasionalnya obligasi syariah harus memperhatikan sisi halal atau haramnya. Artinya, disetiap investasi yang ditanamkan dalam obligasi syariah harus sesuai dengan prinsip syariah.

Obligasi syariah sama dengan obligasi konvensional mengharapkan imbalan dari hasil investasi yang ditanamkan.  Namun dalam bank syariah melalui fatwa MUI, terdapat tiga kategori tiga jenis pembagian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syariah antara lain:
1.      bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah
2.      keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam atau Istishna
3.      berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad Ijarah

3.2  Macam – Macam Transaksi Obligasi Syariah

Pada prinsipnya, semua Obligasi Syariah adalah surat berharga bukti investasi jangka panjang yang berdasarakan prinsip syariah Islam. Namun yang membedakan adalah akad dan transaksinya.  Adapun transaksi sukuk yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

A.     Obligasi Mudharabah

Dimana obligasi mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah di ketahui dengan jelas. Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang.

    Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.

Di Indonesia, yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat (lihat tabel). Sehingga, yang dikenal adalah obligasi syariah mudharabah.

Obligasi syariah mudharabah memang telah memiliki pedoman khusus dengan disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah. Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari pemilihan struktur mudharabah ini, di antaranya adalah:
(i)             Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang;
(ii)                Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure;
(iii)               Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuatnya strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai;
(iv)                  Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur Murabahah dan Bai bi-thaman Ajil menjadi Mudharabah dan Ijarah.
Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:
(i)                Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan;
(ii)             Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya menggunakan prinsip Revenue Sharing;
(iii)            Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
(iv)      Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
(iv)        Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan);
(v)       Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

Contoh:
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT
Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.

B. Obligasi Ijarah

Dimana obligasi ijarah memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan. Dengan ketentuan – ketentuan dalam obligasi syariah Ijarah yang berlaku sebagai berikut:

1.  Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.

2.    Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.

3. Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

4.  Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.

5.  Pemegang OSI sebagai pemilik aset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.

6.    Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.

7. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.

Contoh:
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.

3.2  Harga Obligasi Syariah

Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at maturity par value) di pasar perdana. Landasan syariah dari obligasi ini antara lain berdasarkan hadist Mudharabah yang diriwayatkan oleh Suhaib Ar Rumi (H.R. Ibnu Majah). Pada prinsipnya mudharib memiliki kewajiban finansial kepada shahibul maal, untuk mengembalikan pokok penyertaan ditambah bagi hasil dari keuntungan. Peluang mendapatkan bagi hasil inilah, oleh shahibul maal bisa dialihkan ke pihak lain melalui mekanisme al Hawalah (pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil).

Mekanisme al Hawalah ini bisa menjadi dasar transaksi mudharabah bond di pasar sekunder. Landasan syariahnya antara lain H.R. Imam Bukhari dan Muslim: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu / kaya, maka terimalah hawalah itu.” Dalam kaitan ini mayoritas ulama sepakat membolehkan al Hawalah pada satu bentuk kewajiban finansial.

Atas dasar landasan syariah al Hawalah, maka di pasar modal syariah tidak ada transaksi yang bisa dikategorikan jual beli murni setelah perdananya. Karena sebagian besar ulama telah mengharamkan Bai’ Al Dayn (the sale of payable right raises from transaction), yang berarti melarang untuk diperjualbelikan utang piutang secara tangguh. Yang bisa dilakukan oleh pemegang obligasi syariah (Shariah bonds holders) adalah meng-hawalah-kan syariah bonds-nya untuk mendapatkan dana segar sebesar maturity par value-nya, dengan melakukan perjanjian revenue sharing atas initial revenue sharing yang diperoleh dari penerbit syariah bonds.

Dengan demikian syariah bonds sebaiknya dikeluarkan atas nama, bukan atas unjuk. Pendekatan lain yang kini tengah dibahas oleh para ahli fiqih dan ahli keuangan syariah adalah membeli utang secara tunai (karena yang dilarang adalah membeli utang secara tangguh). Salah satu di antara skema yang tengah dikembangkan adalah lembaga keuangan tertentu menjual metal kepada bond holders dengan mempergunakan obligasi syariah itu sebagai proceednya. Harga yang disepakati sesuai dengan harga nominal (par value obligasi tersebut). Dalam transaksi ini tidak terjadi diskon atau mark down dari nilai obligasi karena hal ini bisa menjadi pintu belakan bagi riba nasi’ah. Lembaga keuangan mendapat keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual metal tersebut.


3.3 Menerbitkan Obligasi Syariah

Penerapan obligasi syariah menggunakan akad antara lain; akad musyarakah, mudharabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, harus memenuhi beberapa persyaratan:
1)  Aktivitas utama (core business) yang halal, sesuai yang telah digariskan oleh DSN-MUI, yaitu
·      usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
· usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
·   usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram;
·      usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.
2)  Peringkat investment grade
·  memiliki fundamental usaha yang kuat;
·  memiliki fundamental keuangan yang kuat;
·  memiliki citra yang baik bagi publik.

Untuk menghindarkan bentuk pendanaan (financing) dan investasi (investment) yang berkenaan dengan riba, obligasi syariah dapat memberikan:
a. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah.
   Karena akad mudharabah/musyarakah merupakan bentuk kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return   karena sifatnya floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
b. Prinsip margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istisna atau ijarah. Dengan akad-akad tersebut sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.

3.4  Prinsip - Prinsip Pokok dalam Mekanisme Penerbitan Obligasi Syariah

Di Indonesia penerbitan obligasi syariah umumnya menggunakan akad mudharabah. Prinsip-prinsip pokok dalam mekanisme penerbitan obligasi syariah dapat di lihat pada hal-hal sebagai berikut:
1.    Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
2.    Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA).
3.    Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
4.    Pendapatan bagi hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten pada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
5.  Pembagian hasil pendapatan ini keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan).
6.   Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.

1 komentar:

  1. Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at maturity par value) di pasar perdana. pojokinvestasi.com

    BalasHapus

Please leave your comment, don't just read. ok?! :)